Between Ruin And Resolve: My Ex-Husband's Regret
Marrying A Secret Zillionaire: Happy Ever After
Rising From Ashes: The Heiress They Tried To Erase
The Phantom Heiress: Rising From The Shadows
She Took The House, The Car, And My Heart
Jilted Ex-wife? Billionaire Heiress!
The Almighty Alpha Wins Back His Rejected Mate
Too Late, Mr. Billionaire: You Can't Afford Me Now
The Mafia Heiress's Comeback: She's More Than You Think
Too Late For Regret: The Genius Heiress Who Shines
Arnan's POV
Malam itu, di tengah derasnya hujan yang membasahi kota, aku melihatnya.
Gadis itu-berdiri diam di depan sebuah kafe tua yang nyaris sepi, mengenakan gaun merah panjang yang menempel pada kulit pucatnya karena basah. Gaun itu terlalu tipis untuk cuaca seperti ini. Rambut panjangnya yang hitam legam menempel di wajah dan lehernya, dan tak ada sepatu di kakinya yang mungil. Tak ada tas. Tak ada payung. Seolah ia baru saja turun dari langit dengan membawa luka yang tak kasat mata.
Hanya bibir merahnya yang mencolok di antara pucat wajahnya-seperti titik nyala di tengah kelabu malam. Bahkan lampu jalan tampak enggan menyinari sosoknya, seperti membiarkannya tetap tersembunyi di balik tirai hujan.
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku. Rasanya... dunia berhenti. Waktu menjadi beku, dan suara hujan terdengar seperti nyanyian sunyi. Dalam hati, aku bertanya: siapa dia? Dan mengapa aku merasa seolah sudah mengenalnya?
Tanpa sadar, aku mengambil payung dan sepatuku dari dalam kantor. Langkahku ringan menembus hujan, seakan ada sesuatu yang menuntunku. Mungkin intuisi, atau mungkin... takdir.
Sesampainya di hadapannya, aku berdiri diam, terpaku. Dia tak menggubris kehadiranku, hanya memeluk dirinya sendiri, seperti tengah melindungi sisa-sisa hangat yang masih ia punya. Matanya sembab. Butiran air menetes dari ujung rambutnya, dan untuk sesaat aku tak bisa membedakan mana air mata dan mana hujan.
"Apa kau membutuhkan payung? Atau... sepatu? Kau basah kuyup," ucapku pelan, mencoba terdengar ramah meski jantungku berdetak tak karuan.
Perlahan, dia menoleh. Tatapannya... tajam tapi rapuh. Mata sendu itu menyimpan ratusan kisah yang belum terucap. "Aku kehilangan ibuku..." bisiknya. Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Aku menyodorkan payung padanya, lalu jongkok dan memakaikan sepatuku di kakinya. Sepatu itu jelas terlalu besar, tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Hatiku terasa nyeri melihat kaki-kaki mungilnya kedinginan begitu rupa.
"Kalau kau mau... aku bisa mengantar pulang. Atau memanggilkan taksi."
Dia menggeleng. Tiba-tiba, payung itu dijatuhkannya, dan tubuhnya memelukku erat-hangat, basah, rapuh. Aku membeku. Sekujur tubuhku menegang, tapi tak mampu menolak.
"Bawa aku pulang ke rumahmu..."
Aku ragu. Otakku mencoba berpikir jernih-siapa dia? Hantu? Penipu? Atau seseorang yang dikirim takdir untuk menghancurkanku?
"Aku tidak punya tempat tinggal," katanya lagi, seolah mendengar keraguan hatiku.
Mungkin aku gila. Tapi aku tak tega membiarkannya sendirian malam ini. Jika aku harus mati di tangan gadis ini, mungkin... itu bukan akhir yang buruk.
---
Dalam mobil, dia menggigil. Kutanggalkan jasku dan kuselimuti tubuhnya. Ia menerima dengan diam, dan untuk pertama kalinya kulihat wajahnya agak tenang.
"Kau akan sakit jika tetap seperti ini," ucapku sambil menyetir perlahan. Dia menoleh, tersenyum lemah.
"Terima kasih..."
"Apa kau tidak takut bersamaku? Aku pria asing."
"Justru karena kau berkata seperti itu, aku tahu kau tak berniat menyakiti."
Aku terdiam. Tanganku mengepal di setir. Aku menoleh ke spion dan kembali melihat dua mobil hitam yang sejak tadi mengikutiku. Aku sempat mengira mereka hanya lewat, tapi arah dan jaraknya terlalu konsisten.
"Mobil itu mengikutiku, bukan?" tanyaku, lebih ke diri sendiri.
Dia hanya melirik. "Perasaanmu saja, mungkin."
Namun, beberapa detik kemudian, mobil itu berbelok dan hilang dari pandangan. Aku memutuskan untuk menunda rasa curiga.
Kami tiba di rumah kecilku, bangunan sederhana di pinggiran kota. Rumah ini hasil kerja keras selama lima tahun, meski masih belum lunas.
"Sudah sampai," kataku. Dia diam. Matanya terpejam. Tidur? Atau hanya pura-pura? Aku tak tahu, yang jelas saat ini aku hanya berniat membantunya.